SILABU—Mayer Rumbeyan (26), warga Dusun Silabu Barat Desa Silabu Kecamatan Pagai Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai tak menyangka hujan lebat pada Jumat (18/3/2022) menyebabkan banjir di kampungnya.
“Hujan dua hari menyebabkan air menggenangi rumah saya sejengkal, padahal rumah say aini merupakan rumah panggung yang tingginya 1 meter dari tanah,” kata Mayer kepada Mentawaikita.com, Minggu (20/3/2022).
Peristiwa ini merupakan yang pertama di kampungnya, selain Silabu Barat, ada dua dusun lain yang juga terdampak banjir yaitu Silabu Selatan dan Silabu Utara. Mayer menduga, banjir disebabkan karena tersumbatnya aliran Sungai Simakeru di Silabu menuju laut sehingga volume hujan tak terbuang ke laut namun masuk perkampungan. Sungai itu tertimbun sebagian akibat aktivitas pembangunan jalan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai di Silabu.
Hutan yang sudah dibabat oleh alat berat Koperasi Minyak Atsiri Mentawai yang direncanakan membangun kebun serai. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Bencana banjir inilah yang dikhawatirkan Mayer akan terjadi saat kayu-kayu di kampungnya ditebang. Karena itu dia bersama sejumlah warga Silabu lainnya gigih menolak Koperasi Minyak Atsiri Mentawai yang akan membuka perkebunan serai wangi seluas 1.500 hektar.
Agar dapat membuka kebun, Koperasi mendapat izin melakukan land clearing kayu atau penebangan kayu di lokasi melalui izin Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan (PKKNK) dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat dengan No. 903/2330/PR.PH-2021.
Areal operasional koperasi berada di lereng bukit yang menghubungkan pemukiman Silabu lama di dataran rendah dengan Silabu baru di kawasan lebih tinggi pasca tsunami 2010. Daerah lokasi tersebut berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang berbatasan dengan wilayah konsesi perusahaan kayu PT. Minas Pagai Lumber.
“Dulu wilayah itu rimba belantara, ada juga kebun masyarakat tapi tidak seberapa, nanti kalau turun langsung ke bagian pantai Palimo, di sana dibuat logpond kayu milik koperasi untuk membawa kayu-kayu ke kapal,” kata Riswan Amdensi Sakerebau (25), warga Silabu kepada Mentawaikita.com, Rabu (9/3/2022).
Tempat tumpukan kayu yang ditebang dalam hutan sebelum diangkut ke logpond. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Jarak dari pemukiman masyarakat di Silabu baru
menuju logpond sekitar 2 kilometer, menuju ke sana, akan melewati jalan baru
yang dibangun oleh perusahaan rekanan koperasi.
Dari pantauan Mentawaikita.com, bagian kiri kanan
jalan yang dibuka itu banyak pohon ukuran besar dan kecil bertumbangan, ada juga
balok-balok kayu ukuran besar yang tergeletak dan belum diangkut, sementara
aliran sungai sudah ditimbun juga demi jalan menuju logpon. “Jalan menuju
logpond ini juga telah menutup aliran anak sungai yang bermuara di Pantai
Polimo, bisa banjir di Desa Silabu jika
hujan lebat,” tutur Riswan.
Di lokasi logpond, Mentawaikita.com menyaksikan tumpukan ribuan balok berdiameter dua sampai lima meter ditumpuk beberapa tumpukan dengan panjang sekira 7 sampai 10 meter. Ujung balok sudah dicat dengan huruf serta stiker warna kuning dengan tulisan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dan warna merah bertulisan huruf dan angka.
Tumpukan balok kayu yang diangkut dari hutan di Pantai Polimo, Desa Silabu. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Ada tiga orang pekerja sedang sibuk mengupas kulit
balok kayu dengan dodos bertangkai kayu sepanjang satu setengah meter, satu
batang kayu ukuran besar bisa menyelesaikan selama 20 menit.
Salah seorang pengupas kulit kayu, Helmus Samaloisa (55), mengaku sudah bekerja sejak awal Maret, pihak perusahaan berjanji akan memberikan gajinya senilai Rp2,5 juta per bulan. “Rata-rata kami bekerja di sini dari Taikako, Silak Oinan dan Trans Kecamatan Sikakap, biasanya kami datang dijemput oleh mobil,” katanya Rabu (9/3/2022)
Pekerja buruh pengupas kulit kayu meranti sedang beristirahat di atas tumpukan balok kayu. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Kulit kayu yang dikupas dari jenis meranti atau
dalam bahasa Mentawai dinamakan katuka.
“Hanya katuka saja yang dikupas kulitnya, kalau tidak dikupas bisa membusuk dan
merusak batang kayu, sementara kayu jenis kruing tidak dikupas termasuk kayu jenis lain,”
tuturnya.
Di sebelah utara logpond dipakai untuk menyortir
balok-balok kayu sebelum dimuat dalam tugboat, namun informasi dari Helmus,
kapal tongkang tidak bisa merapat ke lokasi tersebut lantaran masih dangkal.
“Tidak bisa merapat kapal tongkang di sini karena masih dangkal,” katanya.
Pembangunan
Logpond Bermasalah
Meskipun aktivitas perusahaan mengolah kayu berjalan
namun pembangunan logpondnya menyimpan masalah. Diduga Koperasi melalui
perusahaan rekanannya telah merusak terumbu karang di sekitar Pantai Palimo
dimana coral digaruk dalam laut kemudian ditimbun menjadi timbunan sepanjang 70
meter dari bibir pantai. Lalu di atas coral tersebut ditimbun dengan pasir laut
yang diambil dari lokasi.
Logpond kayu yang bermasalah diduga memakai terumbu karang untuk menimbun dermaga. (Foto:Rus/Mentawaikita.com)
Dugaan pengrusakan ini telah dilaporkan Koalisi
Penyelamat Hutan Mentawai melalui Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera
Barat (Sumbar) kepada Reskrimsus Polda
Sumatera Barat, Dinas Lingkungan Hidup Sumbar dan Dinas Kelautan dan Perikanan
Sumbar.
Kepala Departemen dan Advokasi Walhi Sumbar Tommy Adam mengatakan aktifitas pembangunan logpond tersebut diduga tidak memiliki perizinan yang cukup. Walaupun pihak Koperasi Minyak Atsiri Mentawai membantah dengan klaim telah adanya izin, tetapi belum ada bukti dan konfirmasi resmi dari pihak terkait akan kebenaran diizinkannya aktivitas pembangunan logpond yang diduga telah menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang di Pantai Polimo.
Menurut Tomy, pelaku usaha yang akan memanfaatkan
ruang laut, perairan wilayah pesisir dan atau pulau-pulau kecil mesti harus
memiliki perizinan berusaha terkait pemanfaatan ruang di laut, wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, serta lokasi usaha harus sesuai dengan rencana ruang dan
zonasi perairan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Karena itu, menurut Direktur Walhi Sumbar, Wengki
Purwanto perlu tindakan tegas pemerintah serta pertanggungjawaban Koperasi
Minyak Atsiri Mentawai yang diduga telah membangun dermaga tanpa izin
menggunakan bahan baku karang.
“Terkait hal ini, Walhi telah bersurat kepada Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumbar pada 14 Februari 2022. Sebagai tindak
lanjut, DKP mengaku telah meninjau ke Pantai Polimo pada 18-21 Februari,”
terang Wengki.
Menurut Wengki, pembangunan yang merusak ekosistem terumbu karang adalah tindak pidana, dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
Balok-balok kayu sebagian sudah dikupas pekerja lepas. (Foto:Rus/Mentawaikita.com)
Dasar hukumnya yakni Pasal 73 ayat (1) huruf a UU
No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana diubah dengan UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU 27
tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terakhir
diubah dengan UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Terkait laporan tersebut, Kapolsek Sikakap yang
wilayah kerjanya termasuk Pagai Utara, Iptu Yanuar mengaku ada tiga orang dari
Pol Air Polda Sumbar turun ke lokasi pada 10 Maret 2022. “Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Sumbar telah merekomendasikan aktivitas logpon harus dihentikan
karena merusak ekosistem terumbu karang,” katanya
Kata Yanuar, pihak koperasi dan kontraktornya juga
menghentikan operasional logpond tersebut karena kapal tongkang tidak bisa
bersandar. “Solusi lain, balok-balok kayu itu ditarik dari pantai oleh tugboat
lalu dimuat ke ponton berkapasitas 6000 kubik,” ujarnya.
Yanuar menambahkan sekira 11 Maret 2022 pembangunan
logpond itu sudah dihentikan dan pancang-pancang balok kayu yang ditanam di
laut sudah dicabut. “Itu disaksikan kepala desa, dan manager koperasi. Kemudian
pasir-pasir itu dikembalikan ke lokasi, namun penyelidikan masih berlanjut,”
ujarnya.
Logpond
Tidak Berizin
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat, Desniarti memastikan bahwa logpond di Pantai Palimo tidak memiliki izin. “Setelah kita menerima laporan dugaan pengrusakan tersebut DKP sudah menurunkan tim ke lokasi dan benar menemukan pembangunan logpond tersebut dengan merusak koral. Hasil pengawasan DKP menyimpulkan pembangunan dermaga menggunakan karang sebagai bahan bangunan di Pantai Polimo di Desa Silabu, Pagai Utara oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai,” tegasnya.
Logpond pelabuhan untuk mengangkut balok kayu dari darat ke kapal tongkang yang kemudian dilaporkan Walhi Sumbar. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Lanjut Desniarti, dari fakta tersebut ditemukan
Koperasi Minyak Atsiri Mentawai belum memiliki izin pemanfaatan ruang laut.
Koperasi hanya mengantongi izin Kep. Dirjen Perhubungan Laut No.
A1059/AL/308/DJPK tentang Persetujuan Pemberian Izin Pengoperasian Pemanfaatan
Garis Pantai untuk Kegiatan Usaha di Bidang Pemanfaatan Kayu Non-Kehutanan
untuk Areal Perkebunan Tanaman Minyak Atsiri Pada Areal Penggunaan Lain.
“Berdasarkan hal itu DKP akan mengambil tindakan yaitu merekomendasikan agar
pembuatan dermaga dihentikan. Hasil
temuan di lapangan koordinasi dengan Ditpolairud Polda Sumatera Barat,”
katanya.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat, Siti Aisyah mengatakan timnya juga sudah turun ke lapangan bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk melihat langsung pembangunan logpond yang merusak terumbu karang. Tim turun 18 Maret 2022 bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup Mentawai serta dari Balai Gakkum KLHK Sumbar. “Ada beberapa indikasi pelanggaran yang tidak sesuai dengan dokumennya, pertama pengambilan terumbu karang untuk membuat logpond dermaga dan jalan yang jelas itu terumbu karang, ada beberapa indikasi pelanggaran lingkungan yang tidak sesuai dengan dokumennya,” katanya, Selasa (29/3/2022)
Tim investigasi DKP menemukan sejumlah pelanggaran
seperti dugaan penimbunan aliran sungai. “Namun itu nanti akan menjadi bahan
evaluasi kita, sekarang ini (29/3) sedang ada
evaluasi bersama Dinas Kelautan Perikanan Sumbar, Gakkum Sumbar, Dinas
Kehutanan, Dinas Perhubungan dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan
Mentawai,” ujarnya.
Hasil evaluasi akan diberikan ke DLH Kabupaten
Kepulauan Mentawai agar dapat menjatuhkan sanksi kepada Koperasi Minyak Atsiri
Mentawai. “Yang memberi sanksi itu DLH Mentawai bukan kita, namun kita akan
memberikan beberapa rekomendasi,” ujarnya.
Siti juga menambahkan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai tidak memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), yang ada hanya dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) yang dikeluarkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Mentawai. “Tapi kurang tajam juga isinya, itu yang kita evaluasi masuk ke dalam substansi yang dibahas. Untuk informasi juga dalam dokumen itu informasinya tidak lengkap kemudian cara mengelolanya juga tidak, makanya sekarang kita suruh dia (DLH Mentawai) perbaiki karena dampaknya juga sudah terjadi,” katanya.
Ditambahkan Kabid Pengendalian Pencemaran Kerusakan
dan Penataan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup
Sumatera Barat, Teguh Ariefianto, saat ini untuk operasi logpond sudah
dihentikan karena tidak berizin. “Dokumennya itu kurang lengkap karena tidak
membahas dampak-dampak, itu tidak terprediksi,” katanya.
Kemudian kata Teguh, timnya juga juga melihat betul,
bahan membuat dermaga atau logpond itu memakai material dari terumbu karang
yang digali kanan kirinya.
Tim DLH Sumbar juga melakukan pengecekan camp kontraktor PT. Satu Karya Mandiri Pratama sebagai mitra Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dan ditemukan oli bekas tidak disimpan tersendiri dan tidak tertutup. “Kalau tidak tidak tertutup nanti kalau hari hujan akan mencemari lingkungan,” katanya.
Kondisi hutan yang sudah dieksploitasi Koperasi Minyak Atsiri Mentawai (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Menindaklanjuti temuan DLH Sumbar, Kepala Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Mentawai, Elisa Siriparang mengatakan pihaknya sudah melakukan rapat
bersama terkait laporan yang diberikan Walhi Sumatera Barat. “Sanksi itu akan diberikan oleh bupati, kita
DLH hanya memberikan rekomendasi sanksi itu,” ujarnya.
Rencananya itu akan dikeluarkan sepekan ke depan
menunggu hasil evaluasi dari tim gabungan.
“Kalau di Dinas Kehutanan Sumatera Barat sudah mereka tegur koperasi itu
dan memberhentikan pekerjaan di logpond itu, sekarang ini pemakaian terumbu
karang itu sudah melanggar termasuk DLH dan Gakkum Sumbar sudah jelas pihak
perusahaan itu sudah melakukan perusakan,” katanya.
Elisa menuturkan Koperasi Minyak Atsiri Mentawai itu
sudah memiliki izin seluas 1.500 hektar di dalamnya itu ada kayu. “UKL UPL
tahun 2019 belum saya yang menjabat kepala dinas , tentu isinya tidak tahu saya
itu,” terangnya.
Kemudian hasil pengecekan di lapangan juga melihat ada pembangunan jalan ke Pantai Polimo tempat logpond kayu serta jalan menuju ke Dusun Maguiruk. “Jalan itu juga tidak ada izin, dalam dokumen UKL UPL tidak ada itu,” ujarnya.
Seharusnya kata Elisa, pembangunan jalan itu dibahas
mulai dari DLH Kabupaten Kepulauan Mentawai, Bappeda Kabupaten Kepulauan
Mentawai serta Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Dinas
Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Kepulauan Mentawai, sehingga DLH akan
mengeluarkan rekomendasi ke Dinas Penanaman Modal dan Perizinan untuk
mengeluarkan izin pembangunan jalan.
Elisa mengakui sanksi yang akan dikeluarkan Bupati
Mentawai Yudas Sabaggalet ada dua kemungkinan berdasarkan SK Izin Lingkungan
pembangunan perkebunan tanaman minyak atsiri Desa Silabu Kecamatan Pagai
Utara. “Kalau dalam SK itu perkebunan
tidak mengelola kayu sekarang sudah mengelola kayu bahkan sudah 3000 kubik yang
dikeluarkan di logpond dan masih ada dalam hutan yang belum ditarik,” ujarnya.
Dalam SK tersebut tercantum Koperasi Minyak Atsiri
Mentawai dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku
apabila ditemukan pelanggaran dalam melaksanakan kegiatan. “Itu sudah
ditemukan,” ujar Elisa.
Pada point keenam dalam SK tersebut mengatakan izin
ini dapat dibatalkan apabila kemudian hari ditemukan pelanggaran sebagaimana
diatur Pasal 37 ayat 2 UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan
lingkungan. “Berarti dua kemungkinan apakah ini atau ini sesuai dengan
beratnya. Memang tidak pengelolaan hutan yang diizinkan hanya tanaman
perkebunan, jadi bisa satu point, bisa juga kedua-duanya, kita menunggu rekomendasi
dari tim evaluasi, SK itu keluar 24 Juli 2019,” terangnya.
Mayer Rumbeyan (26) melewati tumpukan balok kayu di Pantai Polimo Desa Silabu. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Sementara Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Polda
Sumbar, Kombes Stefanus Satake Bayu Setianto, membenarkan ada pemeriksaan
saksi-saksi soal logpon yang dibangun di Pantai Polimo, Desa Silabu, Kecamatan
Pagai Utara oleh pihak Koperasi Minyak Atsiri Mentawai lewat mitranya PT. Satu
Karya Mandiri Pratama. “Kasus ini dalam
proses penyelidikan oleh Ditreskrimsus seperti pemeriksaan saksi dan turun ke
lapangan, namun nanti tetap akan melakukan kolaborasi dengan Dinas Lingkungan
Hidup,” jelasnya.
Secara terpisah, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas
Sabaggalet mengatakan bahwa dia tidak mengeluarkan izin untuk menebang kayu,
izin yang dikeluarkan itu perkebunan. “Termasuk sekarang marak-maraknya PKKNK
kita nggak tahu, seperti di sini Sekda juga keluarkan surat, itu juga akibat
dari pada Omnibus Law itu, terlalu gampang dan semua orang bisa. Akhirnya
justru tidak mensejahterakan rakyat.
Sekda saja keluarkan (rekomendasi) izin untuk ini bisa jalan, bingung saya,”
ujarnya.
Menanggapi sengkarut perizinan koperasinya, Ketua Koperasi Minyak Atsiri Mentawai Edison Saleleubaja, mengakui pembangunan logpond tidak dibahas detil dalam izin yang ada namun dia berdalih semua sudah tanggung jawab PT. Satu Karya Mandiri Pratama. “Secara operasional, teknisnya bagaimana di lapangan itu sudah tanggung jawab dia, kita nggak tahu, tapi perizinannya kita yang memiliki,” kata Edison, Jumat (11/3/2022)
Soal dermaga logpond kayu itu kata Edison sudah ada
izin dari Departemen Perhubungan di Jakarta. “Kita sudah urus izinnya ke
Departemen Perhubungan. Kita yang tahu itu kan izin logpond, kita nggak tahu
kalau ada izin itu,ke Dinas Kelautan Perinakan, kalau tahu kita kita minta izin
dulu,” katanya.
Label setiap balok kayu yang ditempel oleh pekerja menandai kayu milik Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. (Foto: Rus/Mentawaikita.com)
Edison menambahkan secara teknis pelaksanaan
(pembangunan logpind) tidak tahu. “Tidak ada perintah kita untuk ambil terumbu
karang itu. Persoalannya secara teknis, apakah dia bisa membuat pelabuhan kalau
tidak menggaruk. Sebenarnya membuat pelabuhan itu secara teknis saya nggak
tahu, yang tahu kan mereka,” ungkapnya.
Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center